MATERI 2
KARAKTERISTIK
PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS
Anak berkebutuhan khusus dikelompokkan sesuai dengan jenis hambatan yang dialami. Anak berkebutuhan khusus menurut Gunawan (2011) yaitu sebagai berikut.
a. Anak dengan Hambatan Penglihatan (Tunanetra)
Anak dengan hambatan penglihatan menurut Gunawan (2011) adalah anak yang mengalami gangguan daya penglihatan sedemikian rupa, sehingga membutuhkan layanan, khusus dalam pendidikan maupun kehidupannya. Dilihat dari sisi kependidikan dan rehabilitasi peserta didik hambatan penglihatan adalah mereka yang memiki hambatan penglihatan sehingga menghalangi dirinya untuk berfungsi dalam pendidikan dan aktifitas rehabilitatif tanpa menggunakan alat khusus, material khusus, latihan khusus, dan atau bantuan lain secara khusus.
Klasifikasi gangguan penglihatan berdasarkan tingkat ketajaman penglihatan dan dalam perspektif pendidikan menurut Gunawan (2011) dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok low vision dan hambatan penglihatan total (Totally Blind).
1)
Low vision
Kelompok ini adalah kelompok hambatan penglihatan yang masih mampu melihat dengan ketajaman penglihatan (acuity) 20/70. Kelompok ini mampu melihat dari jarak 6 meter, jauh lebih dekat dibandingkan dengan pelihatan orang normal (21 meter). Gambaran umum dari kelompok ini, mereka masih mampu mengenal bentuk objek dari berbagai jarak, menghitung jari dari berbagai jarak.
2)
Hambatan penglihatan total
Peserta didik dikatakan memiliki hambatan penglihatan secara total mereka yang tidak bisa memfungsikan kemampuan visualnya tidak memiliki penglihatan atau pun mereka yang bisa merasakan adanya sinar seperti mengetahui siang dan malam tanpa mengetahui sumber cahayanya.
Akibat dari adanya hambatan ini peserta didik diajarkan untuk memahami kemampuan membaca dan menulis braille dan orientasi mobilitas (OM) untuk membantu mereka dalam menjalankan daily activities..
b. Anak dengan Hambatan Pendengaran (Tunarungu)
Banyak istilah yang digunakan untuk menggambarkan seseorang yang mengalami kehilangan/gangguan pendengaran. Salah satunya menurut Nakata dalam Rahardja (2006) yang mengungkapkan bahwa anak dengan hambatan pendengaran atau anak tunarungu adalah mereka yang mempunyai kemampuan mendengar di kedua telinganya hampir di atas 60 desibel, yaitu mereka yang tidak mungkin atau kesulitan secara signifikan untuk memahami suara pembicaraan normal meskipun dengan mempergunakan alat bantu dengar atau alat- alat lainnya.
Tunarungu merupakan istilah yang digunakan untuk menunjukkan keadaan kehilangan pendengaran yang dialami seseorang. Dalam bahasa Inggris terdapat istilah hearing impairment, istilah ini menggambarkan adanya kerusakan atau gangguan secara fisik.
Akibat dari adanya kerusakan itu akan mengakibatkan gangguan pada fungsi pendengaran. Anak mengalami kesulitan untuk memperoleh dan mengolah informasi yang bersifat auditif, sehingga dapat menimbulkan hambatan dalam melakukan interaksi dan komunikasi secara verbal.
Pengelompokkan (klasifikasi) bagi anak yang mengalami hambatan pendengaran yang saat ini digunakan pada umumnya menurut Kirk (dalam Depdikbud, 1995:29) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
(1) 0 dB Menunjukkan
pendengaran yang optimal.
(2)
0 – 26 dB Menunjukkan seseorang
masih mempunyai pendengaran yang normal.
(3)
27 – 40 dB Mempunyai kesulitan
mendengar bunyi-bunyi yang jauh, membutuhkan tempat duduk yang strategis
letaknya dan memerlukan terapi bicara (tergolong tunarungu ringan).
(4)
41 – 55 dB Mengerti bahasa
percakapan, tidak dapat mengikutidiskusi kelas, membutuhkan alat bantu dengar
dan terapi bicara (tunarungu sedang).
(5)
56 – 70 dB Hanya bisa mendengar
suara dari jarak yang dekat, masih mempunyai sisa pendengaran untuk belajar
bahasa dan bicara dengan menggunakan alat bantu mendengar serta dengan cara
yang khusus (tunarungu agak berat).
(6)
71- 90 dB Hanya bisa mendengar
bunyi yang sangat dekat, kadang – kadang dianggap tuli, membutuhkan pendidikan
luar biasa yang intensif, membutuhkan alat bantu dengar dan latihan bicara
secara khusus (tunarungu berat).
(7)
91
dB ke atas mungkin sadar
akan adanya bunyi atau suara dan getaran, banyak bergantung pada
penglihatan daripada pendengaran untuk proses menerima informasi dan yang
bersangkutan dianggap tuli (tunarungu berat sekali)
Menurut Moores dalam Alimin (2007) menjelaskan bahwa anak mengalami disability dalam berkomunikasi akibat dari kehilangan fungsi
pendengaran (impairment). Istilah hearing impairment diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia menjadi istilah tunarungu, yang di dalamnya terkandung
dua kategori yaitu yang disebut dengan deaf
dan hard of hearing.
Moores (1982:6) menjelaskan “tuli” adalah mereka yang memiliki ketidakmampuan mendengar dalam tingkat 70 dB ISO atau lebih, sehingga tidak mengerti pembicaraan orang lain mengakibatkan kesulitan dalam memproses informasi bahasa melalui pendengarannya sehingga ia tidak dapat memahami pembicaraan orang lain dengan memakai maupun tidak memakai alat bantu dengar (hearing aid). Adapun orang yang “kurang dengar” adalah mereka yang memiliki ketidakmampuan dengar dalam tingkat 35 sampai 69 dB.
Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa gangguan pendengaran (tuli atau kurang dengar) tunarungu adalah mereka yang tidak mendengar atau kurang mendengar sebagai akibat pendengarannya yang terganggu fungsi indera pendengarannya baik menggunakan alat bantu dengar maupun tidak. Namun demikian, mereka masih tetap memerlukan layanan pendidikan khusus karena gangguan pendengaran berdampak pada aspek-aspek di bawah ini.
1)
Aspek Motorik
Anak tunarungu yang tidak memiliki kecacatan lain dapat mencapai tugas- tugas perkembangan motorik (early major motor milestones), seperti duduk, merangkak, berdiri dengan tanpa bantuan, dan berjalan sama seperti yang terjadi pada anak yang mendengar (Preisler dalam Alimin, 2007).
Namun demikian, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa anak dengan hambatan pendengaran memiliki kesulitan dalam hal keseimbangan dan koordinasi gerak umum, dalam menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan kecepatan serta gerakan-gerakan yang kompleks (Ittyerah, Sharma, dalam Alimin, 2007).
2)
Aspek bicara dan
bahasa
Keterampilan berbicara dan bahasa merupakan bidang perkembangan yang paling banyak dipengaruhi oleh hambatan pendengaran. Khususnya anak dengan hambatan pendengaran dibawa sejak lahir. Menurut Rahardja (2006) bagi anak dengan hambatan pendengaran congenital atau berat, suara yang keras tidak dapat didengarnya meskipun dengan menggunakan alat bantu dengar.
Individu tersebut tidak dapat menerima informasi melalui suara, tetapi mereka sebaiknya belajar bahasa bibir. Suara yang dikeluarkan oleh anak dengan hambatan pendengaran biasanya sering sulit untuk dimengerti karena mereka mengalami kesulitan dalam membeda-bedakan artikulasi, kualitas suara, dan tekanan suara.
2. Anak dengan Hambatan Mental Kognitif
a.
Anak dengan Hambatan
Intelektual (Tunagrahita)
Menurut Gunawan (2011) anak mengalami hambatan intelektual
adalah anak yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan
perkembangan mental-intelektual di bawah rata-rata, sehingga mengalami
Potensi dan kemampuan setiap anak anak mengalami hambatan
intelektual berbeda-beda, maka untuk kepentingan pendidikan diperlukan
pengelompokkan anak mengalami hambatan intelektual. Pengelompokkan itu
berdasarkan berat ringannya ketunaan, atas dasar itu anak tungrahita dapat
dikelompokkan.
1)
Hambatan Intelektual Ringan
Anak mengalami hambatan intelektual ringan umumnya memiliki kondisi fisik yang tidak berbeda. Mereka mempunyai IQ antara kisaran 50 s/d 70 dan juga termasuk kelompok mampu didik, mereka masih bisa dididik (diajarkan) membaca, menulis dan berhitung, anak anak mengalami hambatan intelektual ringan biasanya bisa menyelesaikan pendidikan setingkat kelas IV SD Umum.
2)
Hambatan Intelektual Sedang
Anak anak mengalami hambatan intelektual sedang termasuk kelompok latih. Kondisi fisiknya sudah dapat terlihat, tetapi ada sebagian anak mengalami hambatan intelektual yang mempunyai fisik normal. Kelompok ini mempunyai IQ antara 30 s/d 50. Mereka biasanya menyelesaikan pendidikan setingkat kelas 2 SD Umum.
3)
Hambatan Intelektual Berat
Kelompok ini termasuk yang sangat rendah intelegensinya tidak mampu menerima pendidikan secara akademis. Anak anak mengalami hambatan intelektual berat termasuk kelompok mampu rawat, IQ mereka rata-rata 30 ke bawah. Dalam kegiatan sehari-hari mereka membutuhkan bantuan orang lain.
Hambatan intelektual mengacu pada intelektual umum yang secara signifikan berada di bawah rata-rata. Anak mengalami hambatanintelektual mengalami hambatan dalam tingkah laku dan penyesuaian diri. Semua gangguan tersebut berlangsung atau terjadi pada masa perkembangannya. Lebih lanjut, Gunawan (2011) mengemukakan bahwa seseorang dikatakan anak mengalami hambatan intelektual apabila memiliki tiga indikator, yaitu:
(1) keterhambatan fungsi kecerdasan secara umum atau di bawah rata- rata;
(2)
ketidakmampuan dalam prilaku sosial/adaptif; dan
(3)
hambatan perilaku sosial/adaptif
terjadi pada usia perkembangan yaitu sampai dengan usia 18 tahun.
Klasifikasi anak mengalami hambatan intelektual secara sosial-psikologis terbagi dua kriteria, yaitu: psikometrik dan perilaku adaptif. Ada empat taraf anak mengalami hambatan intelektual berdasarkan psikometrik (skor IQ- nya).
Tabel. 1 Tingkat Kecerdasan (IQ anak mengalami hambatan intelektual)
Klasifikasi |
IQ |
Mental Age (MA) (Tahun) |
|
Stanford Binet (SB) |
Skala Weschler (WISC) |
||
Ringan (mild mental retardation) |
68-52 |
69-55 |
8,3-10,9 |
Sedang (moderate mental
retardation) |
51-36 |
54-40 |
5,7-8,2 |
Berat (severe mental retardation) |
35-20 |
39-25 |
3,2-5,6 |
Parah (profound mental
retardation) |
≥ 19 |
≥ 24 |
≥ 3,1 |
Sumber: http://repository.upi.edu/operator/
Penggolongan anak anak mengalami hambatan intelektual menurut kriteria perilaku adaptif tidak berdasarkan taraf intelegensi, tetapi berdasarkan kematangan sosial. Hal ini juga mempunyai empat taraf, yaitu ringan, sedang, berat, dan sangat berat. Secara umum dampak dari gangguan intelektual dapat dilihat pada ciri-ciri sebagai berikut.
1)
Lamban dalam mempelajari hal-hal
baru, mempunyai kesulitan dalam mempelajari konsep yang abstrak, dan selalu
cepat lupa apa yang di pelajari apabila tanpa latihan terus menerus.
2)
Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari
hal-hal yang baru.
3)
Kemampuan bicaranya sangat kurang
bagi anak mengalami hambatan intelektual berat.
4)
Cacat fisik dan perkembangan gerak.
Anak mengalami hambatan intelektual berat mempunyai keterbatasan dalam gerak
fisik, ada yang tidak dapat berjalan, tidak dapat berdiri atau bangun tanpa
bantuan. Mereka lambat dalam mengerjakan tugas-tugas yang sangat sederhana,
sulit menjangkau sesuatu, dan mendongakkan kepala.
5) Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri. Sebagian dari anak mengalami hambatan intelektual berat sangat sulit untuk mengurus dirisendiri, seperti; berpakaian, makan, mengurus kebersihan diri. Mereka selalu memerlukan latihan khusus untuk mempelajari kemampuan dasar.
6)
Tingkah laku dan interaksi yang
tidak lazim. Anak mengalami hambatan intelektual ringan dapat bermain bersama
dengan anak reguler, tetapi anak yang mempunyai anak mengalami hambatan
intelektual berat tidak melakukan hal tersebut. Hal itu mungkin disebabkan
kesulitan bagi anak mengalami hambatan intelektual dalam memberikan perhatian
terhadap lawan main.
7)
Tingkah laku kurang wajar yang
terus menerus. Banyak anak mengalami hambatan intelektual berat bertingkah laku
tanpa tujuan yang jelas.
3. Anak dengan Hambatan Fisik
a.
Anak dengan Hambatan
Anggota Gerak (Tunadaksa)
Ada berbagai macam definisi tentang anak yang mengalami gangguan gerak, tergantung dari siapa dan sudut mana melihatnya. Nakata (2003) dalam Djadja R, (2006) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan gangguan gerak adalah:
1)
Mereka yang tingkat kecacatan
fisiknya mengakibatkan mereka mengalami kesulitan yang berat atau ketidakmungkinan melakukan
gerak dasar dalam kehidupan
sehari-hari seperti berjalan
dan menulis meskipun dengan memgunakan alat-alat
bantu pendukung.
2)
Mereka yang tingkat kecacatan
fisiknya tidak lebih dari nomor 1 di atas yang selalu memerlukan observasi dan
bimbingan medis.
Anak gangguan gerak, dilihat dari persentase anak berkebutuhan khusus yang lain, termasuk kelompok yang jumlahnya relatif kecil yaitu diperkirakan 0,06% dari populasi anak usia sekolah. Sedangkan jenis kelainannya bermacam-macam dan bervariasi, sehingga permasalahan yang dihadapi sangat kompleks.
Pada dasarnya anak gangguan gerak dikelompokkan menjadi dua bagian besar, yaitu (1) Kelainan pada sistem serebral (cerebral system) dan (2) kelainan pada sistem otot dan rangka (musculus skeletal system). Adapun yang termasuk kelompok pertama, seperti cerebral palsy yang meliputi jenis spastic, athetosis, rigid, hipotonia, tremor, ataxia, dan campuran.
Sedangkan yang termasuk pada kelompok kedua, seperti poliomyelitis, muscle dystrophy dan spina bifida. Sedangkan anak anak yang mengalami kelumpuhan yang dikarenakan kerusakan pada otot motorik yang sering diderita oleh anak-anak pasca polio dan muscle dystrophy lain mengakibatkan gangguan motorik terutama gerakan lokomosi, gerakan ditempat, dan mobilisasi. Ada sebagian anak dengan gangguan gerak yang berat, ringan, dan sedang. Untuk berpindah tempat perlu alat ambulasi, juga perlu alat bantu dalam memenuhi kebutuhannya, yaitu memenuhi kebutuhan gerak.
4. Anak dengan Hambatan Lainnya
a.
Anak dengan Gangguan
Perilaku dan Emosi
Menurut Gunawan (2011) anak dengan gangguan perilaku adalah anak yang berperilaku menyimpang baik pada taraf sedang, berat dan sangat berat, terjadi pada usia anak dan remaja, sebagai akibat terganggunya perkembangan emosi dan sosial atau keduanya, sehingga merugikan dirinya sendiri maupun lingkungan, maka dalam mengembangkan potensinya memerlukan pelayanan dan pendidikan secara khusus.
Di dalam dunia Pendidikan Khusus dikenal dengan nama anak hambatan perilaku dan emosi (behavioral disorder). Kelainan tingkah laku ditetapkan bila mengandung unsur:
1)
Tingkah laku anak menyimpang dari standar yang
diterima umum.
2)
Derajat penyimpangan tingkah laku dari standar umum
sudah ekstrim.
3)
Lamanya waktu pola tingkah laku itu dilakukan.
Secara umum anak hambatan perilaku dan emosi (anak yang mengalami gangguan emosi dan perilaku) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a)
Cenderung membangkang.
b) Mudah terangsang
emosinya/emosional/mudah marah.
c)
Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu.
d) Sering bertindak
melanggar norma sosial/norma susila/hukum.
e)
Cenderung prestasi belajar dan
motivasi rendah sering bolos jarang
masuk sekolah.
1)
Mengalami hambatan di dalam bahasa.
2)
Kesulitan dalam mengenal dan merespon emosi dengan
isyarat sosial.
3)
Kekakuan dan miskin dalam mengekspresikan perasaan.
4)
Kurang memiliki perasaan dan empati.
5)
Sering berperilaku di luar kontrol dan meledak-ledak.
6)
Secara menyeluruh mengalami masalah dalam perilaku.
7)
Kurang memahami akan keberadaan dirinya sendiri.
8)
Keterbatasan dalam mengekspresikan diri
9)
Berperilaku monoton dan mengalami
kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan.
Dalam dunia pendidikan, anak autis ini dapat digolongkan ke dalam beberapa spektrum, yaitu sebagai berikut.
(a)
Anak autis yang memiliki fungsi
kognisi dan intelektual tingkat tinggi.
(High function children with autism).
(b)
Anak autis yang memiliki fungsi
kognisi dan intelektual tingkat
menengah (Middle function children with autism).
(c)
Anak autis yang memiliki fungsi
kognisi dan intelektual tingkat rendah
(Low function children with autism).
c. Anak Cerdas Istimewa Berbakat Istimewa
Anak-anak berbakat istimewa secara alami memiliki karakteristik yang khas yang membedakannya dengan anak-anak normal. Karakteristik ini mencakup beberapa domain penting, termasuk di dalamnya: domain intelektual-koginitif, domain persepsi-emosi, domain motivasi dan nilai- nilai hidup, domain aktifitas, serta domain relasi sosial.
Berikut beberapa karakteristik yang paling sering diidentifikasi terdapat pada anak berbakat istimewa pada masing-masing domain di atas. Namun demikian perlu dicatat bahwa tidak semua anak-anak berbakat istimewa (gifted) selalu menunjukkan atau memiliki karakteristik intelektual-kognitif seperti di bawah ini (Gunwan, 2011):
a.
Menunjukkan atau memiliki ide-ide
yang orisinal, gagasan-gagasan yang
tidak lazim, pikiran-pikiran kreatif.
b.
Mampu menghubungkan ide-ide yang
nampak tidak berkaitan menjadi suatu
konsep yang utuh.
c.
Menunjukkan kemampuan bernalar yang sangat tinggi.
d.
Mampu menggeneralisasikan suatu
masalah yang rumit menjadi suatu
hal yang sederhana dan mudah dipahami.
e.
Memiliki kecepatan yang sangat tinggi dalam
memecahkan masalah.
f.
Menunjukkan daya imajinasi yang luar biasa.
g.
Memiliki perbendaharaan kosakata yang sangat kaya dan mampu mengartikulasikannya dengan baik.
h.
Biasanya fasih dalam berkomunikasi
lisan, senang bermain atau merangkai kata-kata.
i.
Sangat cepat dalam memahami pembicaraan
atau pelajaran yang diberikan.
j.
Memiliki daya ingat jangka panjang (long term
memory) yang kuat.
k.
Mampu menangkap ide-ide abstrak
dalam konsep matematika dan/atau
sains.
l. Memiliki kemampuan membaca yang sangat cepat.
m. Banyak gagasan dan
mampu menginspirasi orang lain.
n. Memikirkan sesuatu secara kompleks, abstrak, dan dalam.
o. Mampu memikirkan tentang beragam gagasan atau persoalan dalam waktu yang bersamaan dan cepat mengaitkan satu dengan yang lainnya.
d. Kesulitan Belajar Spesifik (Disleksia, Diskalkulia, Disgrafia)
Anak yang mengalami learning disabilities (LD) atau Specific Learning Diificulties (SLD) secara umum dapat diartikan suatu kesulitan belajar pada anak yang ditandai oleh ketidakmampuan dalam mengikuti pelajaran sebagaimana mestinya dan berdampak pada hasil akademiknya. Kesulitan belajar merupakan hambatan atau gangguan belajar pada anak atau remaja yang ditandai adanya kesenjangan yang signifikan antara taraf intelegensi dan kemampuan akademik yang seharusnya dicapai oleh anak seusianya.
Anak LD atau SLD adalah masalah belajar primer yang disebabkan karena adanya deficit atau kekurangan fungsi dalam satu atau lebih area inteligensi. Penyebabnya gangguan neurologis dan genetik. Istilah LD atau SLD hanya dikenakan pada anak-anak yang mempunyai inteligensia normal hingga tinggi. Gangguan ini merupakan gangguan yang kasat mata, berupa kesalahan dalam hal membaca (disleksia), menulis (disgrafia), dan berhitung (diskalkulia). Kesalahan yang terjadi akan selalu dalam kesalahan sama secara terus menerus, dan dibawa seumur hidup (long live disabilities). Adapun karakteristiknya dapat diidentifikasi dari hal-hal berikut ini.
PDBK yang mengalami kesulitan membaca (disleksia)
a)
Perkembangan kemampuan membaca terlambat,
b)
Kemampuan memahami isi bacaan rendah,
c)
Kalau membaca sering banyak kesalahan
PDBK yang mengalami kesulitan belajar menulis (disgrafia)
a)
Kalau menyalin tulisan sering terlambat selesai,
b) Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2 dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya,
c)
Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca,
d)
Tulisannya banyak salah/terbalik/huruf hilang,
e)
Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris.
PDBK yang mengalami kesulitan belajar berhitung (diskalkulia)
a)
Sering salah menulis angka 2 dengan 5, 6 dengan 9,
dan sebagainya
b)
Rancu atau bingung
dengan simbol-simbol matematis. Misalnya tanda +,
-, x, :, dan sebagainya.
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan baik & Relevan dengan conten Artikel, Dilarang menyisipkan Link Hidup. jika Teks url blog/web atau isi di daftar tamu itu diperbolehkan, Terima kasih.