Permasalahan Honorer atau Guru Non-PNS di Negeri ini memang tidak larut-larut. Masih bagus Nasib Guru Honorer/non PNS di Sekolah Swasta, sebab mengabdi di Sekolah Swasta dapat penghargaan Berupa Sertifikasi dan Impassing. Program Sertifikasi Guru dan Impassing guru Non PNS saat ini hanya berlaku di Sekolah Swasta. Lain halnya jika sekolah di Negeri, mereka tidak dapat apa-apa kecuali tunjangan fungsional itu saja syaratnya susah sekali.
Guru Besar Pendidikan Universitas Negeri Surabaya, Muchlas Samami memandang istilah ‘guru tetap’ dan ‘guru tidak tetap’ sebenarnya tidak dikenal dalam UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Kedua istilah itu hanya penyebutan keseharian dalam masyarakat.
“Tetapi, persyaratan, hak, dan kewajiban guru dalam UU Guru dan Dosen tampak yang dimaksud sebagai guru adalah guru tetap dalam istilah sehari-hari,” ujar Prof Muchlas saat memberi keterangan sebagai ahli dalam sidang lanjutan pengujian UU Guru dan Dosen dan UU No. 20 Tahun 2003tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) di gedung Mahkamah Konstitusi, Selasa (14/4).
Muchlas menjelaskan dalam istilah sehari-hari guru tetap yakni guru PNS yang ditugaskan di sekolah negeri; guru PNS yang ditugaskan di sekolah swasta; dan guru yang diangkat sebagai guru tetap oleh yayasan untuk sekolah tertentu di bawah yayasan tersebut. Guru tetap terikat aturan-aturan tertentu dari lembaga yang mengangkat dan berhak mendapatkan gaji setiap bulan.
Guru tidak tetap (GTT) adalah guru yang ditugaskan oleh sekolah, yayasan, pemerintah, atau pemerintah daerah untuk mengajar mata pelajaran tertentu atau membina kegiatan tertentu di sekolah. Mereka berhak mendapat honorarium sesuai jam mengajar atau kegiatan tertentu atas dasar perjanjian kerja yang disepakati. Faktanya, banyak GTT merupakan guru tetap sekolah lain atau karyawan tetap di instansi lain. “Guru tetap dan guru tidak tetap merupakan entitas yang berbeda, sehingga memiliki hak dan kewajiban yang berbeda pula,” paparnya.
Ahli pemerintah lainnya, Kasubdit Pengembangan Sistem Penganggaran pada Ditjen Anggaran Kemenkeu Made Arya Wijaya menuturkan hak guru non-PNS dapat dianggarkan dalam APBN. Namun, dana ini dapat dianggarkan apabila pengangkatan guru non-PNS ini dilakukan pemerintah atau pemerintah daerah atas usulan sekolah (negeri/swasta) kepada Mendikbud ke Kemenkeu agar bisa dialokasikan dalam APBN.
“Hak guru non-PNS ini bentuknya honor per bulan, apabila bersertifikasi diberikan lagi tunjangan. Mereka ini yang dikenal dengan guru honorer.Tetapi, kalau yang angkat yayasan atau sekolah, honor yang bayar sekolah atau yayasannya. Berbeda dengan guru PNS yang menerima gaji berikut tunjangan profesi dan fungsional,” ujar Made dalam persidangan yang diketuai Arief Hidayat.
Made menambahkan persyaratan dan mekanime pengalokasian anggaran bagi guru non-PNS didasarkan pada UU Guru dan Dosen, PP No. 74 Tahun 2008 tentang Guru, PP No. 41 Tahun 2009 tentang Tunjangan Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor, Permendiknas No. 7 Tahun 2011 tentang Honorarium Guru Bantu.
“Mungkin sekarang ini kewajiban yayasan atau sekolah, dan pemerintah daerah menyediakan honor dari APBD belum berjalan disiplin. Misalnya, sekolah harus bayar sesuai upah minimum, tetapi bayarnya tidak sesuai upah minimum,” tambahnya.
Sebelumnya, pengujian UU Guru dan Dosen yang teregister nomor 10/PUU-XIII/2015 ini dimohonkan enam guru non-PNS yang telah bertahun-tahun mengajar di sekolah negeri di Banyuwangi diantaranya Fathul Hadie Utsman, Sanusi Afandi, Saji, Ahmad Aziz Fanani. Mereka memohon pengujian Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1) huruf a, Pasal 15 ayat (1), (2) UU Guru dan Dosen terkait sertifikasi guru, sertifikat pendidik, penerimaan gaji dan tunjangan profesi.
Ketentuan itu dinilai diskriminasi (perlakuan berbeda) dan menimbulkan ketidakadilan antara guru PNS dan guru non-PNS terkait hak mendapatkan sertifikasi guru, sertifikat pendidik, penerimaan gaji, penerimaan tunjangan profesi. Soalnya, hanya guru PNS yang bisa memperoleh hak-hak itu, sementara guru non-PNS tidak berhak.
Karenanya, mereka menilai pasal-pasal itu bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945. Perkara register 11/PUU-XIII/2015 terkait pengujian Pasal 49 ayat (2) UU Sisdiknas dimohonkan oleh Fathul Hadie Utsman, Sumilatun, Aripin, Hadi Suwoto, Sholehudin yang berstatus sebagai guru kontrak sekolah swasta. Ketentuan itu juga dinilai diskriminasi antara guru tetap, guru negeri, dan guru swasta. Padahal, aturan itu menyebut anggaran gaji guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah dialokasikan melalui APBN.
Selain itu, terbitnya PP No. 74 Tahun 2008 menyebut yang berhak memperoleh sertifikasi guru hanya guru tetap, guru negeri dan guru swasta. Sementara guru tidak tetap dan guru kontrak tidak berhak memperoleh sertifikasi. Karenanya, mereka berharap MK menafsirkan Pasal 49 ayat (2) UU Sisdiknas sepanjang dimaknai termasuk guru kontrak/bantu ditetapkan sebagai CPNS, sehingga berhak mendapatkan tunjangan profesi guru.
Sumber : kuambil.com
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan berkomentar dengan baik & Relevan dengan conten Artikel, Dilarang menyisipkan Link Hidup. jika Teks url blog/web atau isi di daftar tamu itu diperbolehkan, Terima kasih.